Paparan & Kajian

Yakin Usaha Sampai

Bung Tomo Juga Sosok Wartawan yang Bertanggung Jawab

Bung Tomo yang juga bertanggung jawab terhadap keluarga

Bung Tomo yang juga bertanggung jawab terhadap keluarga

Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November, tidak pernah lepas dengan sosok Sutomo atau yang akrab disapa Bung Tomo. Karena pidatonya yang berapi-api mampu mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo untuk perang melawan Sekutu.

Selain dikenal sebagai seorang orator ulung dan aktif dalam beberapa organisasi perjuangan, Bung Tomo adalah juga seorang wartawan. Bahkan, pria kelahiran 3 Oktober 1920 ini pernah mendirikan Kantor Berita ‘Indonesia’, di Jalan Tunjungan, Surabaya yang saat ini dibangun Monumen Pers Perjuangan.

Menurut sejarawan dari Universitas 17 Agustus (Untag), Surabaya, Sam Abede Pareno, Bung Tomo adalah sosok wartawan yang bertanggung jawab.

“Karena kemarahannya melihat kondisi bangsa ini, Bung Tomo membuat gerakan Riil berpidato dan mengobarkan semangat arek-arek Suroboyo,” kata Sam dalam pembukaan Festival Kota Pahlawan di Surabaya, Kamis (10/11/2011).

Disebut bertanggung jawab karena saat itu Pers Indonesia bisa dikatakan sebagai Pers Perjuangan. Sebagai Wartawan, tentunya Bung Tomo lebih tahu kondisi bangsa saat itu. Berjuang dengan pembangunan opini melalui berita dirasa tidak cukup, diperlukan gerakan yang realistis.

“Hingga akhirnya Bung Tomo berpidato untuk perang melawan NICA. Secara bersamaan tokoh-tokoh NU juga mengeluarkan resolusi Jihad untuk melawan Belanda,” kata Sam seraya menyebut pertarungan di Surabaya ini berlangsung selama 100 hari.

Dosen Ilmu Komunkasi ini menilai, seorang Wartawan saat ini harus berkaca kepada Bung Tomo. Tanggung Jawabnya adalah riil dengan gerakan. Ia juga mengakui, dengan kondisi saat ini sikap tersebut sangatlah sulit diterapkan. Sebab, era pers sudah mengalami pergeseran seiring perubahan zaman.

Sam menjelaskan, pada 1945 sampai 1954 pers Indonesia memasuki Pers Perjuangan. Kemudian pada 1955-1959 pers bergeser menjadi corong organisasi partai politik. Pada tahun itu sejumlah elemen mengeluarkan produk-produk persnya. Sebut saja, Suluk Indonesia (PNI), Harian Abadi (Masyumi), Pedoman (Sosialis), Duta Masyarakat (NU), Terompet Rakyat (PKI).

Pada tahun 1959 – 1965 pers Indonesia harus tunduk kepada kekuasaan. Jika tidak maka akan dibredel. Pada tahun itu, banyak sekali pers Indonesia yang harus dibredel oleh pemerintah. Kemudian sejak Presiden Soeharto berkuasa, Pers Indonesia memasuki fase Pers Pembangunan.

“Meski demikian tetap ada pembredelan bagi pers yang kritis terhadap pemerintah,” katanya.

Begitu orde baru tumbang, pers Indonesia memasuki tahap Pers Reformasi. Kran kebebasan informasi pun terbuka lebar. Namun, pers indonesia akhirnya menjadi pers Industri. Yang mana, sifat profit juga berlaku di pers saat ini. Ia juga berharap, meski masuk sebagai Industri, pers indonesia jangan sampai kehilangan ruh. “Kalau orang Jawa bilang, ngono yo ngono ning yo ojo ngono,” tegasnya.

sumber

Filed under: Berita HMI, Buletin Pandji, Nasional

Tinggalkan komentar

pandjinews
Januari 2012
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031